BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia, karena sering dilaporkan dibeberapa daerah. Menurut data SKRT (1996) insiden campak pada balita sebesar 528/10.000. angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tahun 1982 sebelum program imunisasi campak dimulai, yaitu sebesar 8000/10.000 pada anak umur 1-15 tahun. Imunisasi merupakan salah satu upaya terbaik untuk menurunkan insiden campak cenderung turun pada semua golongan umur.
Penyakit campak merupakan penyakit yang dapat di cegah melalui imunisasi. Campak merupakan penyakit menular yang sering menyebabkan kejadian luar biasa (KLB). Sepanjang tahun 2003, secara nasional, frekuensi KLB Campak menempati urutan keempat, setelah DBD, Diare dan Chikungunya. KLB Campak 2003 terjadi sebanyak 89 kali dengan jumlah kasus sebanyak 2.914 dan 10 kematian (CFR=0,34%). Sedangkan di Sulawesi Selatan, KLB Campak periode Januari - Desember 2005 (sama dengan kejadian di tahun 2004) yakni terjadi di 5 kab./kota dengan jumlah penderita sebanyak 445 orang (termasuk 1 Kabupaten dari Provinsi Sulbar yakni Kab. Majene) tanpa kematian (CFR=0,0%). Adapun distribusi kab./kota yang melaporkan adanya KLB Campak masing-masing Kab. Luwu dengan 1 kejadian 72 penderita tanpa kematian (CFR=0%), Kab. Sidrap 2 kejadian dengan 19 penderita tanpa kematian, Kab. Tator 1 kejadian dengan 183 penderita tanpa kematian, Kota Palopo 1 kejadian dengan 23 penderita tanpa kematian dan Kab. Luwu Timur 1 kejadian dengan 53 penderita tanpa kematian (CFR=0%). Pada tahun 2006, KLB Campak terjadi sebanyak 35 kali dengan jumlah penderita sebanyak 547 orang dengan CFR sebesar 18,65% dan untuk tahun 2007 jumlah penderita campak meningkat sebanyak 1.261 orang dan tanpa kematian (CFR=0%).
Menurut hasil Riskesdas tahun 2007 di Sulawesi Selatan. prevalensi campak klinis sebesar 1,32%, tertinggi di Kabupaten Tana Toraja (7,1%) dan terendah di beberapa kabupaten dengan prevalensi 0,1%. Enam diantara 23 kabupaten mempunyai prevalensi lebih tinggi dari angka provinsi, antara lain Tator (7,1%), Luwu Utara (2,8%), Luwu (2,5%), Bantaeng (2,2%), Gowa (1,8%), dan Luwu Timur (1,5%). Dari keempat jenis infeksi di atas di Sulawesi Selatan, hanya ISPA yang angka prevalensinya lebih rendah dari angka nasional. Sedangkan pada tahun 2008 ini, jumlah penderita campak menurun yaitu 675 orang dan tanpa kematian (CFR=0%) dan meningkat pada tahun 2009 menjadi 921 orang.
Prevalensi campak klinis 12 bulan terakhir di Indonesia adalah 1,2%, tertinggi di provinsi Gorantalo (3,2%) dan terendah di provinsi Lampung dan Bali (0,4%), empat belas provinsi mempunyai prevalensi lebih tinggi dari angka nasional. Pada umumnya kasus campak terdeteksi berdasarkan diagnosis oleh tenaga kesehatan, kecuali di provinsi Bengkulu, Lampung, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan,, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.
Pada bayi kurang dari 1 tahun dan anak umur 1-4 tahun terjadi penurunan cukup tajam, sedangkan pada golongan umur 5-14 tahun relative lambat. Saat ini program pemberantasan penyakit campak dalam tahap reduksi yaitu penurunan jumlah kasus dan kematian akibat campak, menyusul tahap eliminasi dan akhirnya tahap eradikasi. Diharapkan 10-15 tahun setelah tahap eliminasi, penyakit campak dapat dieradikasi, karena satu-satunya pejamunya dalah manusia. Respon imun memegang peranan penting dalam upaya mengatasi infeksi virus campak. Baik respon yang timbul oleh infeksi campak alam maupun respon setelah imunisasi.
Program Pencegahan dan pemberantasan Campak di Indonesia pada saat ini berada pada tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Hasil pemeriksaan sample darah dan urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan Igm positip sekitar 70% – 100%. Insidens rate semua kelompok umur dari laporan rutin Puskesmas dan Rumah Sakit selama tahun 1992 – 1998 cenderung menurun, terutama terjadi penurunan yang tajam pada kelompok umur = 90%) dan merata disetiap desa masih merupakan strategi ampuh saat ini untuk mencapai reduksi campak di Indonesia pada tahun 2000. CFR campak dari Rumah Sakit maupun dari hasil penyelidikan KLB selama tahun 1997 – 1999 cenderung meningkat, kemungkinan hal ini terjadi berkaitan dengan dampak kiris pangan dan gizi, namun masih perlu dikaji secara mendalam dan komprehensive.
Sidang WHO tahun 1988, menetapkan kesepakatan global untuk membasmi polio atau Eradikasi Polio (Rapo), Eliminasi Tetanus Neonatorum (ETN) dan Reduksi Campak (RECAM) pada tahun 2000. Beberapa negara seperti Amerika, Australia dan beberapa negara lainnya telah memasuki tahap eliminasi campak. Pada sidang CDC/PAHO/WHO tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi dengan effikasi vanksin 85%. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi.
Program imunisasi campak di Indonesia dimulai pada tahun 1982 dan masuk dalam pengembangan program imunisasi. Pada tahun 1991, Indonesia dinyatakan telah mencapai UCI secara nasional. Dengan keberhasilan Indonesia mencapai UCI tersebut memberikan dampak positip terhadap kecenderungan penurunan insidens campak, khususnya pada Balita dari 20.08/10.000 – 3,4/10.000 selama tahun 1992 – 1997 (ajustment data rutin SST). Walaupun imunisasi campak telah mencapai UCI namun dibeberapa daerah masih terjadi KLB campak, terutama di daerah dengan cakupan imunisasi rendah atau daerah kantong.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah douraikan di atas dan mengingat banyaknya factor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit campak maka yang menjadi permasalahan adalah factor-faktor resiko yang dapat berpengaruh terhadap kejadian campak di propinsi Sulawesi selatan.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui besarnya masalah kejadian campak dan factor-faktor yang berpengaruh sehingga dapat dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan kejadian Campak berdasarkan variabel epidemiologi (tempat, orang dan waktu).
b. Mendapatkan informasi jumlah penyakit campak dan distribusinya berdasarkan tempat di Sulawesi selatan.
c. Mengetahui trend penyakit campak di Sulawesi selatan dan mengatahui proporsi penderita campak berdasarkan umur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Campak
Penyakit campak adalah suatu penyakit virus akut yang sangat menular dengan gejala awal berupa demam, konjungtivitis, pilek, batuk, dan bintik-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak Koplik). Penyebab infeksi adalah virus campak, anggota genus Morbilivirus dari famili Paramyxoviridae. Tanda khas bercak kemerahan dikulit timbul pada hari ketiga sampai ketujuh, dimulai di daerah muka, kemudian menyeluruh, berlangsung selama 4-7 hari, dan kadang-kadang berakhir dengan pengelupasan kulit berwarna kecoklatan. Sering timbul lekopenia. Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat replikasi virus atau karena superinfeksi bakteri antara lain berupa otitis media, pneumonia, laryngotracheobronchitis (croup), diare, dan ensefalitis. Diagnosa biasanya dibuat berdasarkan gejala klinis dan epidemiologis walaupun konfirmasi laboratorium dianjurkan untuk dilakukan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mendeteksi antibodi IgM spesifik campak yang timbul pada hari ke 3-4 setelah timbul ruam atau untuk mendeteksi peningkatan yang signifikan titer antibodi antara serum akut dan konvalesens untuk memastikan diagnosis campak. Teknik yang jarang digunakan antara lain identifikasi antigen virus dengan usap mukosa nasofaring menggunakan teknik FA atau dengan isolasi virus dengan kultur sel dari sample darah atau usap nasofaring yang diambil sebelum hari keempat Korelasi cakupan timbulnya ruam atau dari spesimen air seni yang diambil sebelum hari kedelapan timbulnya ruam.
B. Distribusi Penyakit Campak
Campak lebih berat diderita oleh anak-anak usia dini dan yang kekurangan gizi, pada penderita golongan ini biasanya ditemukan ruam dengan perdarahan, kehilangan protein karena enteropathy, otitis media, sariawan, dehidrasi, diare, kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi vitamin A subklinis atau klinis beresiko tinggi menderita kelainan di atas. CFR di negara berkembang diperkirakan sebesar 3-5% tetapi seringkali di beberapa lokasi berkisar antara 10%-30%. Pada anak-anak dalam kondisi garis batas kekurangan gizi, campak seringkali sebagai pencetus terjadinya kwasiorkor akut dan eksaserbasi defisiensi vitamin A yang dapat menyebabkan kebutaan. Campak endemis di masyarakat metropolitan dan mencapai proporsi untuk terjadi KLB setiap 2-3 tahun. Pada kelompok masyarakat dan daerah yang lebih kecil, KLB cenderung terjadi lebih luas dan lebih berat. Dengan interval antar KLB (honeymoon periode) yang lebih panjang seperti yang terjadi di daerah Kutub Utara dan di beberapa pulau tertentu, KLB campak sering menyerang sebagian penduduk dengan angka kematian yang tinggi. Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak, kasus-kasus campak di Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara lainnya (seperti Finlandia, Republik Czech) turun sebesar 99% dan pada umumnya campak hanya menyerang anak-anak yang tidak diimunisasi atau anak-anak yang lebih besar, remaja atau dewasa muda yang hanya menerima vaksin satu dosis. Di Amerika Serikat pada tahun 1989-1991, KLB yang berkepanjangan timbul pada populasi anak sekolah diantara 2-5% dari mereka yang gagal membentuk Korelasi cakupan... antibodi, tidak terjadi serokonversi setelah mendapat vaksinasi 1 dosis. Di daerah iklim sedang campak timbul terutama pada akhir musim dingin dan pada awal musim semi. Di daerah tropis campak timbul biasanya pada musim panas.
C. Penularan Penyakit Campak
Reservoir dari penyakit campak adalah manusia. Campak merupakan salah satu penyakit infeksi yang sangat menular. Cara penularan dari penyakit ini adalah melalui udara dengan penyebaran droplet, kontak langsung, melalui sekret hidung atau tenggorokan dari orang-orang yang terinfeksi dan jarang melalui benda-benda yang terkena sekret hidung atau sekret tenggorokan. Masa inkubasi dari penyakit ini berlangsung sekitar 10 hari, tapi bisa berkisar antara 7-18 hari dari saat terpajan sampai timbul gejala umum, biasanya 14 hari sampai timbul ruam. Jarang sekali lebih lama dari 19-21 hari. IgG untuk perlindungan pasif yang diberikan setelah hari ketiga masa inkubasi dapat memperpanjang masa inkubasi. Masa penularan penyakit campak berlangsung mulai dari hari pertama sebelum munculnya gejala prodromal (biasanya sekitar 4 hari sebelum timbulnya ruam) sampai 4 hari setelah timbul ruam; minimal setelah hari kedua timbulnya ruam. Semua orang yang belum pernah terserang penyakit ini dan mereka yang belum pernah diimunisasi serta nonresponders rentan terhadap penyakit ini. Imunitas yang didapat setelah sakit bertahan seumur hidup. Bayi yang baru lahir dari ibu yang pernah menderita campak akan terlindungi kira-kira selama 6-9 bulan pertama atau lebih lama tergantung dari titer antibodi maternal yang tersisa pada saat kehamilan dan tergantung pada kecepatan degradasi antibodi tersebut. Antibodi maternal mengganggu respons terhadap vaksin. Korelasi cakupan. Imunisasi yang diberikan pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerima, imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar 99%. Bayi yang baru lahir dari ibu yang memperoleh kekebalan karena vaksinasi campak, menerima antibodi pasif dari ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang mendapat kekebalan alamiah. Dan bayi ini lebih mudah terkena campak sehingga membutuhkan imunisasi campak pada usia yang lebih dini dari jadwal yang biasanya dilakukan.
D. Cara-cara Pemberantasan Penyakit Campak
1. Diberikan penyuluhan kepada masyarakat oleh Departemen Kesehatan dan dokter praktek swasta yang menganjurkan imunisasi campak untuk semua bayi, anak remaja dan dewasa muda yang masih rentan.
2. Imunisasi: Virus campak yang mengandung virus yang dilemahkan adalah vaksin pilihan digunakan bagi semua orang tidak kebal terhadap campak. Pemberian dosis tunggal vaksin campak hidup (live attenuated) biasanya dikombinasikan dengan vaksin hidup lainnya (mumps, rubella), dapat diberikan bersama-sama toksoid, dapat memberikan imunitas aktif pada 94- 98% individu-individu yang rentan, kemungkinan kekebalan yang timbul dapat bertahan seumur hidup, kalaupun terjadi infeksi maka bentuk infeksinya sangat ringan atau infeksi tidak nampak dan tidak menular. Dosis kedua vaksin campak dapat meningkatkan tingkat kekebalan sampai 99%. Untuk mengurangi jumlah kegagalan pemberian vaksin, di Amerika Serikat jadwal rutin pemberian vaksin campak 2 dosis, dengan dosis awal diberikan pada umur 12-15 bulan atau sesegera mungkin setelah usia itu. Dosis kedua Korelasi cakupan diberikan pada saat masuk sekolah (umur 4-6 tahun) Namun dapat juga dosis kedua ini diberikan sedini mungkin, 4 minggu setelah dosis pertama dalam situasi dimana risiko untuk terpajan campak sangat tinggi. Kedua dosis diberikan sebagai vaksin kombinasi MMR (mézales, mumps dan rubella). Imunisasi rutin dengan MMR pada umur 12 bulan penting dilakukan di wilayah dimana timbal kasus campak. Selama terjadi KLB di masyarakat, usia yang direkomendasikan untuk imunisasi menggunakan vaksin campak monovalent dapat diturunkan menjadi 6-11 bulan. Dosis kedua vaksin campak kemudian diberikan pada umur 12-15 bulan dan dosis ketiga pada waktu masuk sekolah.
3. Imunisasi campak sebagai persyaratan bagi anak-anak yang akan masuk sekolah dan bagi anak-anak pada pusat penitipan anak sampai dengan mahasiswa perguruan tinggi, telah terbukti efektif dalam penanggulangan campak di Amerika Serikat dan di beberapa propinsi di Kanada. Sejak KLB yang berkepanjangan terjadi di sekolah-sekolah walaupun cakupan imunisasi pada anak-anak tersebut mencapai lebih dari 95%, tingkat kekebalan yang lebih tinggi dibutuhkan untuk mencegah timbulnya KLB. Hal ini dapat dicapai melalui imunisasi ulang yang diberikan secara rutin sebagai persyaratan untuk memasuki sekolah (Chin 2000, p.396-402).
E. Tahapan Pemberantasan Campak
Pada sidang CDC/PAHO/WHO tahun 1996 menyimpulkan bahwa campak dimungkinkan untuk dieradikasi, karena satu-satunya pejamu (host) atau reservoir campak hanya pada manusia dan adanya vaksin dengan potensi yang cukup tinggi Korelasi cakupan dengan effikasi vanksin 85%. Diperkirakan eradikasi akan dapat dicapai 10 – 15 tahun setelah eliminasi (penyakitmenular.info). WHO mencanangkan beberapa tahapan dalam upaya pemberantasan campak yaitu reduksi, eliminasi dan eradikasi dengan strategi yang berbeda-beda pada setiap tahap.
a. Tahap Reduksi
Pengertian reduksi campak adalah menurunkan angka kematian sebesar 90% pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2000 dengan strategi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Meningkatkan cakupan imunisasi rutin minimal 90% di desa (UCI) dengan indikator cakupan campak, DPT3, Polio 4.
2. 95% desa mencapai UCI.
3. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD, secara nasional dimulai tahun 2006.
4. Meningkatkan surveilans epidemiologi berbasis rumah sakit dan puskesmas.
5. Penyelidikan KLB disertai pemeriksaan laboratorium.
6. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vit A dan pengobatan adekuat terhadap
komplikasi.
7. Rujukan kasus sesuai indikasi.
b. Tahap Eliminasi
Tahun 2010 diharapkan masuk kedalam tahap eliminasi campak dengan tujuan untuk memutus transmisi virus campak indigenous dengan strategi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa. Korelasi cakupan
2. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan cakupan minimal 95%.
3. Melaksanakan surveilans berbasis kasus individu dengan melakukan konfirmasi laboratorium.
4. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
5. Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
c. Tahap Eradikasi
Pada tahap ini tidak ditemukan lagi virus campak, cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata dengan strategi yang dilakukan sebagai berikut:
1. Mencapai cakupan imunisasi rutin ≥ 95% di setiap desa.
2. Pemberian imunisasi campak dosis kedua pada anak kelas 1 SD dengan cakupan 100%.
3. Imunisasi campak tambahan.
4. Melaksanakan surveilans ketat berbasis kasus individu dengan konfirmasi laboratorium.
5. Tatalaksana kasus dengan pemberian Vitamin A dan pengobatan adekuat terhadap komplikasi.
6. Rujukan kasus sesuai dengan indikasi.
F. Kebijakan dan Strategi Reduksi Campak
a. Kebijakan
Kebijakan reduksi campak di Indonesia adalah:
1. Diberikannya imunisasi campak pada semua bayi Korelasi cakupan
2. Diintegrasikan surveilans campak dengan AFP dan TN
3. Ditetapkan sebagai KLB campak bila ditemukan 5 kasus campak yang mengelompok
4. Dilakukan konfirmasi laboratorium pada setiap KLB
5. Diberikan vitamin A pada setiap penderita campak
b. Strategi
Strategi reduksi campak di Indonesia meliputi:
1. Imunisasi rutin pada bayi 9-11 bulan dengan cakupan tinggi ≥ 90 % (UCI desa)
2. Imunisasi tambahan (suplemen)
3. Surveilans dengan kualitas baik (Surveilans rutin, SKD-respon KLB, dan penyelidikan KLB).
4. Tatalaksana kasus (case management)
5. Penanggulangan KLB
6. Pemeriksaan laboratorium pada KLB (SubDit Surveilans DepKes RI 2006, p.2-3).
G. Kegiatan Imunisasi Tambahan untuk Pemberantasan Penyakit Campak
(Supplemental Immunisation Activities (SIAs) for Measles control)
a. Tujuan SIAs
Kegiatan imunisasi tambahan penting untuk menjangkau anak-anak yang belum pernah diimunisasi dan belum pernah terkena penyakit campak sebelumnya, dan menyediakan kesempatan untuk mendapatkan vaksinasi kedua untuk kasus kegagalan pada vaksinasi pertama. Semua anak yang termasuk ke dalam target umur Korelasi cakupan dan target area geografi akan mendapatkan vaksinasi campak terlepas apakah mereka pernah mendapatkan vaksinasi campak sebelumnya. Vaksinasi kedua ini yang berupa imunisasi tambahan dengan kualitas yang baik akan menurunkan proporsi kerentanan dengan cepat, mencegah terjadinya KLB, dan didalam konteks tingginya cakupan imunisasi rutin, dapat membantu untuk mengeliminasi transmisi penyakit campak tersebut. Hal ini terjadi karena walaupun dengan cakupan imunisasi yang tinggi, individu yang rentan akan terus bertambah dengan alasan tidak terjangkaunya atau tidak tervaksinasinya anak-anak di komunitas dan kegagalan vaksinasi pertama.
b. Jenis Kegiatan Imunisasi Tambahan untuk Panyakit Campak
Kegiatan Imunisasi Tambahan untuk penyakit campak adalah:
1. “Catch-up campaigns” yang merupakan usaha pada suatu waktu untuk mengvaksinasi semua anak yang berusia dibawah 15 tahun.
2. “Follow-up campaigns” yang merupakan kampanye imunisasi yang dilakukan pada waktu tertentu setiap 2-4 tahun sesudah “Catch-up campaigns” yang bertujuan menurunkan kerentanan bayi yang lahir sejak kegiatan imunisasi tambahan (SIAs) sebelumnya. Waktu untuk kegiatan Follow-up SIAs ini dipengaruhi oleh kecepatan penambahan kerentanan yang disebabkan oleh perubahan cakupan imunisasi rutin dan cakupan selama kegiatan Catch-up atau Follow-up SIAs. Oleh karena itu, cakupan imunisasi rutin yang rendah menyebabkan pendeknya jarak antara kampanye. Pada umumnya, Follow-up campaigns disarankan untuk dilaksanakan sebelum resiko KLB Campak mencapai puncaknya sebagai hasil dari akumulasi dari kerentanan yang menurut Pedoman SIAs Campak WHO AFRO sebagai ukuran kohort sebuah kelahiran. Korelasi cakupan Epidemi campak terjadi ketika jumlah individu yang rentan di sebuah populasi mencapai titik kritis. Gambaran klasik ini adalah hasil modifikasi dari imunisasi. Dimana peningkatan cakupan imunisasi menyebabkan penurunan epidemi atau jumlah kasus, memperpanjang periode inter-epidemic, dan meningkatkan proporsi kasus diantara anak-anak yang lebih besar. Grafik 2.4.2, mengilustrasikan hubungan antara cakupan imunisasi rutin, cakupan yang didapatkan selama SIAs, dan periode jendela yang diharapkan sebelum Follow-up campaigns yang mungkin penting. Untuk beberapa cakupan yang diterima selam SIAs, jarak antara kampanye penting untuk mencegah peningkatan epidemi dengan meningkatkan cakupan imunisasi rutin (WHO 2006, p.7-8).
c. SIAs di Indonesia
Departemen Kesehatan RI memulai kampanye imunisasi campak sebagai usaha untuk menghentikan penyebaran penyakit campak dan untuk memperkuat sistem Korelasi cakupan imunisasi di daerah terjadinya Tsunami pada tahun 2004. Dampak dari kejadian Tsunami, banyak anak-anak di Sumatera bagian utara yang rentan untuk terkena penyakit akibat lingkungan yang ramai dan kondisi tempat tinggal yang tidak bersih, serta kerusakan fasilitas kesehatan. Besarnya respon agent internasional dan usaha dari kelompok masyarakat, banyak anak yang dilindungi dari kesakitan. Pada tahun 2004, Indonesia diidentifikasikan sebagai satu dari lima negara dengan lebih dari satu juta anak yang tidak difaksinasi campak. Pada tahun tersebut,cakupan imunisasi rutin kurang lebih 70% dan dengan estimasi 30.000 anak meninggal karena komplikasi yang disebabkan oleh campak setiap tahunnya. Sebagai negara terbanyak populasinya keempat di dunia, pencapaian cakupan imunisasi di Indonesia adalah sebuah langkah penting untuk mencapai tujuan global untuk menurunkan kematian akibat campak 90% dari tahun 2010 (dibandingkan dengan tahun 2000). Kampanye ini dipimpin oleh pemerintah Indonesia, dengan pendanaan dan dukungan teknis dari kerja sama dengan American Red Cross, U.S. Centers for Disease Control and Prevention, UN Foundation, UNICEF, dan World Health Organization. Besarnya komitmen pemerintah dan dukungan dari kerja sama beberapa organisasi di atas, kematian akibat campak dapat diturunkan lebih dari 60% secara global antara tahun 1999 dan 2005. Hal ini melebihi dari pencapaian global dalam menurunkan kematian akibat campak yang lebih dari 50% pada tahun 2005 (dibandingkan dengan tahun 1999) (Redcross, 2007). Korelasi cakupan Tujuan dari SIAs di Indonesia adalah menurunkan angka estimasi kematian akibat campak pada tahun 2010 sebesar 90% dari tahun 2000. Tujuan spesifik dari SIAs di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Cakupan imunisasi campak dosis pertama secara Nasional >90% dan >80% di Kabupaten/Kota pada tahun 2009
2. Semua KLB dilaporkan dan diivestigasi
3. Individual record untuk semua kasus campak apabila catch-up campaigns sudah dilaksanakan diseluruh wilayah
4. Melaksanakan imunisasi campak dosis kedua
Di bawah ini adalah fase SIAs campak di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 (SubDit Surveilans DepKes RI, 2007).
d. Peta
Fase SIAs Campak di Indonesia dari tahun 2005-2007 Sumber : SubDit Surveilans DepKes RI, 2007. Korelasi cakupan Di Indonesia, Departemen Kesehatan memberikan imunisasi campak tambahan melalui kegiatan “Kampanye Imunisasi Campak”. Kempanye Imunisasi campak ini dilakukan dalam lima tahap. Tahap 1 berlangsung pada bulan Januari 2005 di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara. Tahap 2 diadakan pada bulan April 2006 di Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Imunisasi Tahap 3 diselenggarakan tanggal 29 Agustus – 29 September 2006 di Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung dan NTT. Imunisasi Tahap 4 diadakan tanggal 20 Februari – 20 Maret 2007 di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Dan imunisasi tahap 5 diadakan selama satu bulan penuh mulai tanggal 10 Agustus sampai 10 September 2007 yang mencakup dua belas propinsi target, meliputi Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Gorontalo, Sulbar, Sulteng, Sulsel, Sultra, Bali dan NTB (Indonesia, 2007).
H. Surveilans Campak
a. Kasus Klinis Campak
Kasus klinis menurut WHO merupakan kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk makulo papular didahului panas badan > 38oC (teraba panas) selama 3 hari atau lebih dan disertai salah satu gejala batuk, pilek, atau mata merah. Bercak kemerahan makulo papular tersebut setelah 1 minggu berubah menjadi kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik yang akan menghilang setelah kurang lebih 1 bulan. Pada kasus yang telah menunjukkan hiperpigmentasi (kehitaman) perlu dilakukan anamnesis dengan teliti, dan apabila pada masa akut (permulaan sakit) terdapat gejala-gejala tersebut di atas maka kasus tersebut termasuk kasus campak klinis.
b.Kasus Campak konfirmasi
Kasus campak klinis disertai salah satu kriteria:
1. Hasil pemeriksaan laboratorium serologis positif (IgM positif atau kenaikan titer antibodi 4 kali) dan atau isolasi virus campak positif.
2. Kasus campak yang mempunyai kontak langsung (ada hubungan epidemiologi) dengan kasus konfirmasi, dalam periode waktu 1-2 minggu.
c. Gambaran Surveilans Campak
Peranan surveilans dalam program reduksi campak sangat penting, karena surveilans dapat menilai perkembangan program pemberantasan campak serta dapat membantu menentukan strategi pemberantasannya di setiap daerah, terutama untuk perencanaan, pengendalian dan evaluasi program pemberantasan campak di Indonesia.
d. Tujuan Surveilans Campak
Tujuan surveilans campak adalah:
1. Mengetahui perubahan epidemiologi campak.
2. Mengidentifikasi populasi risiko tinggi.
3. Memprediksi terjadinya KLB campak.
4. Melaksanakan penyelidikan epidemiologi setiap KLB campak.
5. Memberikan rekomendasi dan tindak lanjut pada program pencegahan dan pemberantasan campak (SubDit Surveilans DepKes RI, 2006).
e. Strategi Surveilans Campak
Strategi surveilans campak meliputi:
1. Surveilans Rutin
Surveilans rutin merupakan Pengamatan Epidemiologi kasus campak yang telah dilakukan secara rutin selama ini berdasarkan sumber data rutin yang telah ada serta sumber data lain yang mungkin dapat dijangkau pengumpulannnya.
2. SKD dan Respon KLB campak
Pelaksanaan SKD dan Respon KLB campak dilakukan setelah diketahui atau adanya laporan 1 kasus pada suatu daerah serta pada daerah yang memiliki polulas rentan lebih 5%.
3. Penyelidikan dan penanggulangan setiap KLB campak
Setiap KLB harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan cakupan imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat,sweeping) pada desa-desa risiko tinggi.
4. Pemeriksaan laboratorium pada kondisi tertentu
Pada tahap reduksi campak dengan pencegahan KLB, pemeriksaan laboratorium dilakukan terhadap 10 - 15 kasus baru pada setiap KLB. Pada tahap eliminasi/eradikasi, setiap kasus campak dilakukan pemeriksaan laboratorium.
5. Studi epidemiologi
Melakukan survei cepat, penelitian operasional atau operational research (OR) sebagai tindak lanjut hasil analisis surveilans untuk melengkapi data/informasi surveilans yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perbaikan program (corrective action) (Depkes, 2006).
f. Penguatan Surveilans Campak
1 Tujuan
1. Memperkuat Surveilans PD3I
2. Untuk Mengetahui Gambaran Epidemiology Kasus Campak
a. Gambaran kasus campak sebelum dan sesudah campaign
b. Mengukur Dampak Measles Campaign
2 Tujuan Khusus
1. Meningkatkan akses masyarakat (yang sakit campak) ke pelayanan kesehatan.
2. Meningkatkan kelengkapan dan ketepatan laporan puskesmas
3. Meningkatkan surveilans aktif rumah sakit
4. Meningkatkan laporan investigasi KLB
5. Meningkatkan pemeriksaan laboratorium pada KLB
6. Meningkatkan kemampuan analisis data untuk mengetahui gambaran epidemiologi campak
3 Mengukur Dampak Kampanye Campak
1. Melengkapi data kasus campak dari laporan rutin dan KLB sebelum kampanye.
a. Review data kasus campak selama 3 tahun sebelum kampanye
b. Sumber data yang ditinjau:
1) Data rutin yang berasal dari registrasi puskesmas dan rumah sakit.
2) Data KLB yang merupakan hasil investigasi KLB campak.
3) Data dikumpulkan berdasarkan bulan laporan dan kelompok umur.
c. Mempertahankan kelengkapan laporan puskesmas dan rumah sakit serta laporan KLB setelah kampanye.
d. Membandingkan data epidemiologi sebelum dan setelah kampanye dengan membandingkan data berdasarkan orang, tempat, dan waktu, serta faktor resiko (status imunisasi) (SubDit Surveilans DepKes RI, 2007).
I. Epidemiologi
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi dan frekuensi dan diterminan dari status kesehatan atau kejadian-kejadian yang berhubungan dengan status kesehatan pada suatu populasi dan aplikasi dari ilmu ini digunakan untuk mengkontrol masalah kesehatan.
a. Tujuan-tujuan Spesifik dari Epidemiologi
1. Mengidentifikasi etiologi atau kausa dari suatu penyakit dan faktor-faktor resikonya.
2. Untuk menentukan pengaruh penyakit di masyarakat dengan melihat besarnya penyakit bagi masyarakat untuk perencanaan dan penyediaan fasilitas di bidang kesehatan.
3. Untuk mempelajari riwayat alamiah penyakit dan prognosa dari suatu penyakit.
4. Untuk mengevaluasi tindakan pencegahan serta pengobatan dan cara-cara pelayanan kesehatan yang ditawarkan.
5. Memberikan dasar untuk pengembangan kebijakan-kebijakan publik dan keputusan dalam membuat peraturan atau undang-undang yang berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan.
b. Epidemiologi Deskriptif
Epidemiologi deskriptif menggambarkan kejadian dan distribusi atau frekuensi dari suatu penyakit, status kesehatan, kecacatan, dan ketidakmampuan. Fungsi dasar dari epidemiologi deskriptif adalah pengumpulan data yang sistematik, klasifikasi data dan penyusunan data secara benar. Pada epidemiologi deskriptif, data-data statistik seperti morbiditas dan mortalitas, memberikan informassi tentang variasi dari penyakit yang berkaitan dengan agent, host, dan environment, serta orang, tempat, dan waktu.
BAB III
HASIL ANALISA PENYAKIT CAMPAK
A. Kondisi Geografis
Propinsi Sulawesi Selatan yang beribukota di Makassar terletak antara 0°12’ - 8° Lintang Selatan dan 116°48’ - 122°36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di sebelah timur, batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut Flores. Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliran sungai dengan jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu, yakni 25 aliran sungai. Sungai terpanjang tercatat ada satu sungai yakni Sungai Saddang dengan panjang 150 km yang mengalir meliputi Kabupaten Tator, Enrekang, Pinrang dan Polmas. Di Sulawesi Selatan terdapat empat danau yakni Danau Tempe dan Sidenreng yang berada di Kabupaten Wajo, serta Danau Matana dan Towuti yang berlokasi di Kabupaten Luwu Timur. Adapun jumlah gunung tercatat sebanyak 7 gunung dengan gunung tertinggi adalah Gunung Rantemario dengan ketinggian 3.470 m di atas permukaan air laut. Gunung ini berdiri tegak di perbatasan Kabupaten Enrekang dan Luwu. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kota, dengan 304 kecamatan dan 2.953 desa/kelurahan. Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km2 atau luas kabupaten tersebut merupakan 16,48%.
B. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Masalah utama kependudukan di Indonesia pada dasarnya meliputi tiga hal pokok, yaitu : jumlah penduduk yang besar, komposisi penduduk yang kurang menguntungkan dimana proporsi penduduk berusia muda masih relatif tinggi, dan persebaran penduduk yang kurang merata.

Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan Sulawesi Selatan dalam Angka tahun 2009 berjumlah 8.328.957 jiwa yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.410.783 jiwa (16.94%) mendiami Kota Makassar. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Makassar dimungkinkan karena terjadinya arus urbanisasi dari daerah lainnya di Sulawesi Selatan terutama untuk melanjutkan pendidikan, disamping daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan konsentrasi kegiatan ekonomi tingkat provinsi.

Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia pada periode 1990-2000 rata-rata sebesar 1,35% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Sulawesi Selatan pada periode 2004-2008 rata-rata sebesar 1,32%, sedangkan antara tahun 2008-2009 melaju sebesar 6,69% per tahun. Hal ini terjadi karena sumber data yang berbeda, yaitu dari Bagian Kependudukan Setda Provinsi Sulawesi Selatan. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk dapat dilihat pada tabel II.A.1.
C. Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Penduduk Sulawesi selatan yang berusia 0-14 tahun pada tahun 2007 sebesar 30,18%, sedangkan pada tahun 2008 sebesar 31,51%. Meningkatnya proporsi penduduk usia muda tersebut merupakan indicator bahwa periode 2007-2008 telah terjadi peningkatan tingkat kelahiran yang cukup berarti. Proporsi tersebut masih berada di atas rata-rata nasional yaitu sebesar 29,83%. Sedangkan data kelompok umur tahun 2009,sampai dengan bulan mei 2010 belum dipublikasikan oleh BPS provinsi Sulsel.
GAMBAR II.B.1
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Di Sulawesi Selatan Tahun 2009

.
D. Persebaran Dan Kepadatan Penduduk
Penduduk Sulawesi selatan pada tahun 2008 tercatat sebanyak 7.771.671 jiwa (BPS) tersebar di 21 kabupaten dan 3 kota. Namun persebaran tersebut tidak merata, sekitar 32,86% penduduk Sulawesi selata tinggal di tiga daerah kabupaten/kota yaitu kabupaten gowa (7,76%), Bone(9,03%), dan kab.Gowa (7,70%).
Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi selatan rata-rata 183 jiwa/km. kota Makassar merupakan kabupaten /kota terpadat (8.026 jiwa/km2), menyusul kota pare-pare (1.257 jiwa/km2) kemudian kota palopo (1.019 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu timur (35 jiwa /km2), luwu utara (41 jiwa/km2), enrekang (121 jiwa/km2), Barru (144 jiwa/km2), dan selayar (190 jiwa/km2).
GAMBAR II.C.1
Persebaran dan Kepadatan Penduduk
Provinsi Sulawesi Selatan

E. Sarana Kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit
GAMBAR II.E.1
Perkembangan Jumlah Puskesmas di Sulawesi Selatan Selama tahun 2004-2008

Pada tahun 2008, jumlah Puskesmas seluruh Indonesia sebanyak 8.854 unit. Dengan rincian jumlah puskesmas perawatan 2.348 unit dan puskesmas non perawatan sebanayk 6.110 unit. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui keterjangkauan penduduk terhadap puskesmas adalah rasio puskesmas per 100.000 penduduk Jika dilihat perkembangannya dari tahun 2004-2008, meningkat menjadi 8.854 unit pada tahun 2008. Namun pada periode tahun itu, rasio Puskesmas terhadap 100.000 penduduk pada tahun 2004 sebesar 3.48, pada tahun 2008 meningkat menjadi 3,74 per 100.000 penduduk. Ini berarti bahwa pada periode tahun itu setiap 100.000 penduduk ratarata dilayani oleh 3 – 4 unit puskesmas.
Di Sulawesi Selatan pada tahun 2006, jumlah puskesmas di Sulsel tercatat sebanyak 355 unit dengan 1.073 puskesmas pembantu. Adapun rasio puskesmas per 100.000 penduduk tetap sebesar 4,74 sedangkan rasio Pustu terhadap puskesmas yakni 3:1. Pada tahun 2007, jumlah puskesmas meningkat menjadi 380 unit, puskesmas pembantu sebanyak 1.073 unit. Rasio puskesmas per 100.000 penduduk sebesar 4,95 sedangkan rasio Pustu terhadap puskesmas pada tahun 2007 yaitu 4 : 1. Dan tahun 2008 jumlah puskesmas meningkat menjadi 395 unit dengan 1.009 puskesmas pembantu.
Pada tahun 2004–2009, perkembangan jumlah rumah sakit (umum dan khusus) di Sulsel cenderung relatif stabil. Adapun perkembangan jumlah rumah sakit (umum dan khusus) tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
GAMBAR II.E.2

F. Distribusi kasus Campak (Rutin) Menurut Bulan kejadian Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2005-2009.
Berdasarkan distribusi kasus campak (Rutin) Menurut bulan kejadian dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 terjadi peningkatan kasus pada bulan juli-Agustus, dan pada bulan Desember terjadi penurunan jumlah kasus.
II.F.1
Distribusi Kasus Campak (Rutin) Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009
Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009

G. Distribusi kasus campak menurut Gol.Umur
Berdasarkan distribusi kasus campak menurut golongan umur dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2009 penderita peyakit campak 25% berumur antara 5-9 tahun, hal ini disebabkan anak-anak usia dini dan kekurangan gizi, pada penderita campak biasanya ditemukan ruam dengan perdarahan, kehilangan protein karena enteropathy, otitis media, sariawan, dehidrasi, diare, kebutaan dan infeksi kulit yang berat. Anak-anak dengan defisiensi vitamin A subklinis atau klinis beresiko tinggi menderita Campak.
GAMBAR II.G.1
Distribusi kasus campak menurut Gol.Umur
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

Komposisi penduduk menurut kelompok umur dapat menggambarkan tinggi/rendahanya tingkat kelahiran. Selain itu komposisi penduduk juga mencerminkan angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara jumlah penduduk produktif (umur 14-64 tahun) dengan umur tidak produktif (umur 0-14 tahun dan umur 65 tahun ke atas)
. data BPS menunjukkan bahwa angka beban tanggungan pada tahun 2008 sebesar 59,47%.
. data BPS menunjukkan bahwa angka beban tanggungan pada tahun 2008 sebesar 59,47%.
GAMBAR II.G.2

Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009
Sedangkan dalam kurun waktu antara tahun 2004 sampai tahun 2009 dapat dilihat perbandingan bahwa pada tahun 2004 , 2005 , 2007, 2008, angka kejadian penyakit campak tertinggi pada umur 1-4 tahun. Tahun 2006 dan 2009 didmonasi oleh anak yang berumur 5-9 tahun.
H.Distribusi Kasus Campak (Rutin) dan Cakuapan Imunisasi Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009.
Distribusi Kasus Campak (Rutin) Menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009 yaitu pada Tahun 2008 distribusi kasus campak rutin tertinggi terdapat di kota Makassar dan kota Gowa, sedangkan pada tahun 2009 terdapat dikota Enrekang dan kota Makassar, cakupan imunisasi rutin di kota Makassar mengalami penurunan pada tahun 2009.
Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009 yaitu pada Tahun 2008 distribusi kasus campak rutin tertinggi terdapat di kota Makassar dan kota Gowa, sedangkan pada tahun 2009 terdapat dikota Enrekang dan kota Makassar, cakupan imunisasi rutin di kota Makassar mengalami penurunan pada tahun 2009.
GAMBAR II.H.1
Distribusi Kasus Campak (Rutin) dan Cakuapan Imunisasi Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sulawesi Selatan Periode Jan-Jun Tahun 2008 – 2009

GAMBAR II.H.2
Pemetaan Cakupan Imunisasi Campak
Di Sulawesi Selatan Tahun 2009

Cakupan imunisasi campak di sulsel tahun 2008 telah memenuhi target provinsi yaitu 92,88% (melebihi 2,88% dari target provinsi). Namun masih terdapat 6 kab.kota yang belum memenuhi target provinsi (dibawah 90%), antara lain kab.selayar, jeneponto, Barru, Pinrang, Tator dan Palopo. Dan tidak ada kab/kota yang telah memenuhi target nasional (100%).
GAMBAR II.H.3
Distribusi kasus campak berdasarkan st. imunisasi
Provinsi Sulawesi selatan tahun 2009

I. Distribusi Kasus Campak Berdasarkan Jenis Kelamin Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009
Berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu 51%,Secara keseluruhan, jumlah peduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin laki-laki, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih kecil dari 100. Hanya di daerah kabupaten enrekang, tana toraja, luwu utara, luwu timur, Makassar yang menunjukkan angka rasio jenis kelamin lebih besar dari 100, yang berarti penduduk laki-laki di enam darah tersebut lebih besar dari jumlah penduduk perempuan

J . Pola Penyebab Kematian Balita
TABEL II.J.1
Proporsi Penyebab kematian Balita Di Indonesia
Hasil Riskesdas Tahun 2007

Tabel II.J.1 menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian balita menurut hasil Riskesdas tahun 2007 masih didominasi oleh penyakit infeksi. Angka kematian Bayi dan Balita untuk tingkat kecamatan ,kabupaten maupun provinsi tidak tepat jika diperoleh dari survey yang berskala nasional. Hal ini karena rancangan sampel diperuntukkan untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita tingkat nasional.
K. Presentase BBLR kunjungan Bayi dan ASI Ekslusif di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2009
GAMBAR II.K.1
Presentase BBLR kunjungan Bayi dan ASI
Ekslusif di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2009

Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk menggambarkan angka kematian bayi dan balita di Sulawesi selatan dapat digambarkan dengan indicator program yang dilaksanakan dalam upaya menurunkan angka kematian bayi balita, antara lain presentase BBLR (0,83% pada tahun 2006 dan 1,57% tahun 2007 dari kelahiran hidup), cakupan pemberian ASI ekslusif (57,48% pada tahun 2006 dan 57,05% pada tahun 2007 ) dan lain-lain. Untuk data tahun 2008 persentase BBLR 1,38% dari kelahiran hidup, cakupan kunjungan bayi menurun 71,39%, cakupan pemberian ASI ekslusif meningkat menjadi 77,18%. Sedangkan tahun 2009 persentase BBLR 1,36% dari kelahiran hidup, cakupan kunjungan bayi meningkat sedikit menjadi 71,71%, cakupan pemberian ASI ekslusif menurun menjadi 59,80%.
L. Pelayanan Imunisasi
Kegiatan imunisasi rutin meliputi pemberian imunisasi untuk bayi umur 0-1 tahun (BCG,DPT, Polio, Campak, HB), imunisasi untuk wanita subur/ibu hamil (TT) dan imunisasi tambahan dilakukan atas dasar ditemukannya masalah seperti Desa on UCI, potensial/risti KLB, ditemukan/diduga adanya virus polio liar atau kegiatan lainnya berdasarkan kebijakan teknis.
GAMBAR II.L.1
Presentase Cakupan Desa Kelurahan UCI Per Kan/Kota
Di Sulawesi Selatan Tahun 2009

Pelayanan imunisasi bayi mencakup vaksinasi BCG, DPT (3 kali), polio (4 kali), Hepatitis-B (3 kali) dan imunisasi campak (1 kali), yang dilakukan melalui pelayaa rutin di posyandu dan fasilitas pelayanan kesehatan lainya. Cakupan imunisasi dasar pada bayi (cakupan imunisasi campak) secara nasional di tahun 2003 sebesar 89,2%. Sedangkan untuk di sulsel tercatat sebesar 89,63% pada tahun 2006, pada tahun 2007 91,08% dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 97,79%. Sedangkan cakupan imunisasi lengkap pada bayi di tahun 2009 sebesar 92,88% degan cakupan tertinggi yaitu kabupaten Bone dan yang terendah di Selayar. Untuk angkan DO cakupan imunisasi pada bayi tercatat sebesar 0,74%.
Gambar II.L.2
Pemetaan imunisasi campak tahun 2009

Imunisasi campak untuk mencegah penyakit campak yang diberikan hanya satu kali pada umur 9-11 bulan dengan cara menyuntik pada lengan kiri atas (subkutan). Cakupan imunisasi campak di sulsel pada tahun 2008 telah memenuhi target provinsi yaitu 94,16% (melebihi 4,16% dari target provinsi). Namun masih terdapat 8 kab/kota yang belum memenuhi target provinsi di bawah (90%), antara lain kab.selayar, Bulukmba, Takalar, Maros, Sidrap, Enrekang, Luwu, dan Tator, tetapi dua kab/kota yang telah memenuhi target nasiolanl 100% yaitu kota Makassar dan kab. Soppeng.
M. Pemberian Kapsul Vitamin A
Vitamin A adalah salah satu zat gizi mikor yang diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk meningkatkan daya tahan tubuh (imunitas) dan kesehatan mata. Anak yang kekurangan vitamin A, bila terserang campak, diare atau penyakit infeksi lain, penyakit tersebut akan bertambah parah dan dapat mengakibatkan kematian. Infeksi akan menghambat kemampuan tubuh untuk menyerap zat-zat gizi dan pada saat yang sama akan mengikis habis simpanan vitamin A dalam tubuh.
GAMBAR II.M.1
Presentase Cakupan Balita Yang Mendapat Vitamin A 2X
Di SULSEL Selama Tahun 2004-2009

Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada balita tahun 2009 dilaporkan sebesar 42,90% dan 2 kab/kota yang memiliki persentase cakupan tertinggi yaitu Kab.Bantaeng dan Kab.Pinrang sedangkan yang terendah adalah di kab Takalar (23,18%).
Gambar II.M.2
Distribusi kasus campak berdasarkan pem.vit A provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

Distribusi kasus campak berdasarkan pemberian vitamin A propinsi Sulawesi selatan 51% tanpa pemberian Vitamin A, sedangkan 49% dengan pemberian Vitamin A.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Penyakit campak adalah penyakit yang mudah menular, maka penderita perlu dipisahkan , Perlu adanya komunikasi baik kepada para pemimpin dan pengelola program kesehatan maupun kepada lintas sector dan masyarakat di daerah yang didiskripsikan melalui data dan informasi, apalagi dalam era desentralisasi pengumpulan data dan informasi dari kabupaten/kota menjadi relatif sulit. Disamping itu dalam mencermati capaian setiap indicator masih perlu penataan yang lebih maksimal lagi khususnya dalam menggunakan pendekatan-pendekatan stastistik seperti dengan menggunakan proksi yang lebih tepat agar jelas numerator dan denominator masing-masing indicator.
banyak bgd kak, makasih kak :D
BalasHapus